Refleksi HUT ke-20 Banten: Sosok Jawara dan Ketahanan Bersama



20 tahun sudah Provinsi Banten berdiri. Sebagai sebuah provinsi yang boleh dibilang relatif masih muda dibanding wilayah lainnya di Indonesia, banyak catatan yang dapat dituliskan menjelang hari ulang tahunnya yang akan diperingati 4 Oktober nanti. Berbagai refleksi dan ulasan mulai muncul menyemarakkan peringatan HUT provinsi tercinta.

Tanpa mengurangi rasa syukur, sayangnya peringatan tahun ini berada di tengah-tengah masa pandemi Covid-19 yang sangat memengaruhi kehidupan negeri ini, tak terkecuali pada Provinsi Banten kebanggaan kita. Tak heran, tema tahun ini pun “Banten Mantapkan Ketahanan Bersama, Lawan Covid-19”.

Senada dengan tema yang diusung, logo peringatan pun mencerminkan semangat dan pesan yang sama. Keterikatan Provinsi Banten dengan warisan budaya, nilai-nilai mulia peninggalan leluhur, maupun ragam budaya dan sumberdaya yang ada, kini diarahkan untuk meningkatkan daya tahan menghadapi kondisi pandemi yang amat menyengsarakan.

Berbicara tentang daya tahan, sebenarnya masyarakat Banten sudah sejak dulu hingga sekarang memiliki budaya tangguh yang diakui oleh semua pihak. Representasi ketangguhan Banten, salah satunya tercermin dalam kehadiran para jawara, yang sampai kini masih dapat ditemui keberadaannya dalam kehidupan kekinian.

“Kehadiran para jawara ini malah memberi stigma negatif terhadap Banten,” ujar sebuah suara yang sempat saya dengar. Hal tersebut lantas dikaitkan dengan berita adanya oknum jawara yang kadang terlibat dalam kegiatan yang kurang elok dengan nilai kepatutan. Saya berusaha memahami pemikiran tersebut. Benarkah jawara sebuah hal yang membuat citra Banten kurang baik? Pada akhirnya, saya melihat bahwa beberapa pihak mungkin memiliki pandangan yang berlainan, sesuai dengan pola pikir dan keyakinan masing-masing.

Namun, saya melihat bahwa jargon apapun tentang Banten, jika memasukkan narasi ‘bersama’ atau ‘kebersamaan’ maka secara realistis harus mengakomodasi semua anak bangsa yang berada di wilayah ini. Apatah lagi jika bermimpi tentang ketangguhan yang mantap. Demikian pula ketahanan bersama dalam menghadapi pandemi saat ini.

Terlebih, iman dan taqwa menjadi orientasi pembangunan di provinsi tercinta. Maka tidak ada alasan lain untuk tidak membangun kebersamaan itu dengan mencakup dan mengakomodasi semua elemen masyarakat yang ada, siapa pun mereka. Di titik ini, jawara merupakan bagian tak terlepaskan dari kesatuan masyarakat Banten.


Sebuah sumber mengatakan bahwa para jawara sebenarnya juga berasal dari pondok pesantren. Ketika para santri mendapat gemblengan dari para kiyai, mereka terbagi ke dalam dua kelompok utama, yakni pengajar (dai) dan pengawal (jawara). Keterangan ini perlu dipelajari lebih lanjut, jika ingin diungkap secara ilmiah tentunya.

Namun jika dilihat dari kisah-kisah yang beredar di masyarakat, keterikatan jawara dan para tokoh agama sudah ada sejak dulu. Siapa sih yang dibayangkan ketika menyebut representasi kalangan jawara? Beberapa suara menunjuk Si Pitung sebagai sosok jawara yang sebenarnya dan tokoh ini dekat dengan guru ngaji, serta membawa nilai-nilai serta simbol keislaman. Lalu tokoh yang lebih kekinian adalah Si Doel, sosok yang tak hanya pintar dan mampu beladiri, tetapi juga rajin beribadah serta pandai mengaji. Baik Si Pitoeng maupun Si Doel, keduanya gigih dalam membela kebenaran dalam ruang waktu dan kisah yang berbeda.

Sudah sepatutnya sebutan jawara dikembalikan pada penggambaran yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Banten yang menjunjung keimanan dan ketakwaan. Jawara sejati adalah mereka yang menjunjung nilai-nilai tersebut. Pemikiran ini akan menghilangkan stigma negatif yang muncul, dan sepatutnya selalu tercermin dalam tindak-tanduk sehari-hari yang membela kaum lemah, serta melawan ketidakadilan.

Keberadaan jawara akan menjadi elemen penting untuk membangun ketangguhan dan ketahanan Banten di dalam masa pandemi ini. Sejauh posisi semua pihak seiring sejalan di dalam tujuan bersama untuk kemaslahatan masyarakat Banten, maka tidak ada kekhawatiran bahwa masing-masing elemen ini akan berada dalam posisi yang bertentangan atau berhadap-hadapan.

Nama Banten sendiri ada yang mengartikan berasal dari kata ‘bantahan’ yang artinya membantah. Jika dikaitkan dengan nilai-nilai iman dan takwa, bantahan yang dimaksud tentunya membantah pada kesalahan atau kekeliruan. Maka, peran jawara yang memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan atau perjuangan membela kaum lemah, sesungguhnya menjadi salah satu kekuatan potensial untuk pembangunan Banten dulu, sekarang dan di masa depan.

Wallahu a’lam bishshawaab.

Wilujeng milad, Provinsi Banten. Selama ulang tahun yang ke-20. Semakin maju dan berlimpah berkah. Aamiin ya Rabbal alamiin.

Post a Comment

Tidak ada komentar