Kamu Bukan Anak Bapakmu

Banyak sekali masalah yang muncul dan menjadi besar, ternyata bermula dari hal kecil yang terjadi di masa lalu. Masalah sepele yang tak diselesaikan, menumpuk menjadi ‘api di dalam sekam’ dan suatu saat siap membakar keadaan.

Kebanyakan dari semua itu berawal dari tidak terjaganya lisan. Tak heran, kemampuan menjaga lisan memang menjadi sesuatu yang amat istimewa dan berharga.

“Bicaralah yang benar, atau lebih baik kamu diam,” demikian nasihat yang sering kita dengar, mengutip dari ajaran Nabi Saw. Pada kenyataannya, petuah orang tua dan para ulama tersebut tak semudah itu melaksanakannya.

Mulutmu, harimaumu. Ucapan seseorang yang menghina, meski mungkin hanya candaan, kadang dapat membekas begitu dalam dan lama. Apalagi jika kata-kata menyakitkan itu datang dari orang yang sepatutnya jadi teladan.

Seorang 'anak baru gede' di kawasan kota Ciamis, sekitar tahun 1988, ikut bergembira menyambut hari kenaikan kelas. Sebagai anak SMP kelas 2, ketua OSIS pula, tentu begitu besar harapannya untuk naik ke kelas tiga.

Tiba-tiba saja seorang guru senior di sekolah tersebut nyeletuk, "Ah, kamu ini rapornya nggak pernah diambil orang tua. Jangan-jangan kamu anak ajudan ya?"

Bayangkan, betapa marahnya sang anak. Meski mungkin bermaksud bercanda, ucapan guru tersebut menyakitinya sampai ke dasar hati.

Akibatnya? Di rumah, sang anak mengamuk dan membuat keributan. Tak berhenti hingga akhirnya bapaknya menenangkan.

"Saya mohon maaf kalau tak selalu dapat memperhatikan langsung anak saya di sekolah ini," ucap bapaknya keesokan harinya. Bukan kepada guru yang nyeletuk, atau kepada wali kelas maupun kepala sekolah, melainkan di hadapan semua orang, saat menyampaikan sambutan. Saat yang sangat istimewa, sebab tak setiap hari sekolah favorit dan paling top itu didatangi orang nomor satu di kabupaten Ciamis.

"Sebab saya punya ribuan anak yang harus lebih diperhatikan, Bapak Ibu. Mohon kiranya Bapak Ibu dapat memaklumi keadaan ini dan memaafkan," sambung Pak Bupati.

Singkat kata, sang anak puas bapaknya datang. Sekolah pun pastinya senang dikunjungi pimpinan. Tapi hasil akhirnya tetap di luar dugaan. Sang anak bulat tekad hengkang dari sekolah itu dan tak mau melanjutkan.

Ngadat? Dendam? Boleh jadi kekecewaan terlalu dalam karena dianggap bukan anak bapaknya. Tapi hikmahnya kini lebih luar biasa lagi yang dirasakan.

Tanpa harus menjelaskan panjang lebar pada anaknya, Sang Bapak memberi jawaban yang begitu mantap dan tak terbantahkan di dalam sambutan. Pidatonya malah meresap hingga kini, bahkan menjadi ajaran kehidupan.

Sudah menjadi kontrak jalan hidupnya, bagi seorang pemimpin, untuk menjadi bapak bagi rakyatnya. Hidupnya sudah bukan milik keluarganya saja, melainkan sudah diwakafkan untuk masyarakat dan bangsanya.

Kalimat "kamu bukan anak bapakmu" kini menjadi "bukan cuma aku yang jadi anak bapakku, dan aku bangga…."

Post a Comment

Tidak ada komentar