Rekam Jejak dalam Selembar Iket Bapak


Bagaimana cara mengukur keberhasilan seorang pemimpin saat mengemban amanah yang dipercayakan kepadanya? Banyak orang mengajak melihat rekam jejak atas tindak-tanduk seorang pemimpin sebagai salah satu acuan penilaian.

Tentu saja, selama belum ada parameter yang mengikat dalam menentukan penilaian, maka bakal ada silang pendapat saat membicarakan hasilnya, bahkan tak jarang sampai menuai pro-kontra pula.

Rekam jejak seorang pemimpin di era keterbukaan informasi saat ini, memang dapat dengan mudah dijumpai, karena sudah terdapat banyak media informasi, baik di level lokal hingga nasional. Tak hanya itu, setiap individu pun sekarang dapat menjadi penyerap, pembuat, bahkan penerbit berita tentang apa saja.

Jangan heran, jika ada warga biasa tak sengaja melihat tindakan negatif seorang pejabat, lalu merekam dan menyebarkannya, maka karir dan kehormatan sang pejabat itu tercoreng dan mungkin mendapat konsekuensi serius ke depannya.

Apakah sudah semua orang di seluruh wilayah negeri ini memiliki akses ke pada media mainstream maupun media sosial? Harus diakui, masih banyak yang belum memiliki kemampuan dalam memanfaatkan fasilitas tersebut. Jangankan memakai secara aktif, menyerap secara pasif pun tidak. Banyak penyebabnya, yang tidak usah kita bahas kali ini.

Namun demikian, apakah rakyat di daerah pelosok punya cara sendiri dalam memberi menandai rekam jejak para pemimpinnya? Mampukah mereka mengomunikasikan penilaian itu di antara mereka sendiri, dan bagaimana caranya?

Suatu saat, saya pernah menghadiri kegiatan 'Seren Taun' yang diselenggarakan komunitas adat Kaolotan Cisungsang di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pada acara pembukaannya, warga dari komunitas adat setempat berjumpa dengan para pemegang tampuk pemerintahan Provinsi Banten yang diundang secara khusus. Acara ini selain memiliki falsafah dan makna mendalam bagi masyarakat adat tersebut, juga boleh dibilang merupakan simbolisasi keharmonisan hubungan mereka dengan pemerintahan.

Saya berbaur pada acara itu dan memilih berada di antara warga, alih-alih duduk manis 'sila anéprok' di wilayah VIP (saat itu memang tak ada kursi, hanya tikar yang tersedia). Tak lama, saya bahkan sudah berada di area dapur umum yang sibuk oleh persiapan untuk menjamu para hadirin.

Saat melihat iket yang saya kenakan, tiba-tiba saja saya digeret ke tempat khusus dengan sikap yang sangat hormat dan penuh keramahan. Mereka meminta saya duduk di tempat duduk yang terpisah dari warga maupun tamu VIP lainnya. Jujur saja, itu sempat membuat saya heran sekaligus kuatir. Jangan-jangan saya terlihat pucat atau sakit, hingga diperlakukan seperti itu.

Tak lama, saya dikirimi suguhan minuman dan penganan tradisional, terasa amat istimewa, sebab peserta kegiatan di area utama pun belum mendapatkan pelayanan seperti itu.

Setelah dapat bercakap-cakap sejenak, akhirnya diperoleh jawaban atas perlakuan mengherankan itu. "Iket Bapa Gede ieu mah," kata salah seorang dari mereka. Rupanya, saya dikenali di antara ratusan orang yang berbaur, meskipun banyak yang berbaju serupa atau berseragam dengan warna sama (karena masing-masing membawa identitas asalnya), hanya dari satu hal yang amat sederhana, yakni dari iket atau ikat kepala yang saya kenakan. Agak ajaib memang, sebab bukan hanya saya yang memakai iket saat itu,taoi mereka mampu mengenalinya.

Teringat pada iket yang saya pakai itu, rasa haru dan bangga menyeruak mengisi rongga dada. Di balik kesederhanaan Komunitas Adat Cisungsang yang penuh makna, mereka memiliki kearifan lokal yang begitu mengagumkan dan mempesona. Saya pun memanjat doa untuk almarhum Bapak, yang pengabdiannya telah menjadikannya sebagai penerima iket yang begitu istimewa.

Hingga kini, saya masih terkagum-kagum atas bagaimana cara mereka dapat mengenali iket Bapak, dari sekian banyak manusia beriket yang ada, dan meskipun saya memilih ada di belakang saja.

Iket warisan dari Bapak bukanlah medali penghargaan yang berkilau penampakannya. Bukan pula tampilan analisa hasil lembaga survei yang dibumbui puja-puji dan sanjungan pada narasinya. Namun, secara lembut dan meresap jiwa telah memberi penyadaran pada saya sebagai keturunannya, meski beliau sudah tiada.

Semoga Allah SWT menempatkan beliau dalam kemuliaan kasih sayang-Nya. Aamiin ya Rabb.

Post a Comment

Tidak ada komentar