Tsunami dan Heboh Koordinasi


Bencana tsunami yang meluluh-lantakkan sebagian besar wilayah pesisir pantai utara Banten beberapa hari lalu bertepatan dengan posisi saya masih berada di kota Yogyakarta untuk menengok anak yang study di kota pelajar tersebut. Terkait kota Jogja, subhanallah, dalam dua kali kunjungan ke sana, selalu ada kabar duka yang kami terima atas kehendak-Nya.

Maka saya pulang kembali ke Banten bersama anak-istri dengan perasaan yang sudah penuh kekhawatiran. Apalagi berita tentang dampak bencana tersebut sudah tersebar sedemikian rupa. Bagaimana kondisi di provinsi tempat saya mengabdi setiap saat ini? Sembari berdoa saya memacu kendaraan di jalan tol dengan kecepatan yang tak biasa.

Benar saja, sesampai di Banten, sesudah saya langsung bergabung dengan tim provinsi yang diturunkan untuk mendukung kabupaten terdampak, kondisinya jauh lebih mengenaskan daripada yang tampak di layar kaca.

Meski sudah ada penetapan status dari BNPB bahwa bencana ini ditetapkan sebagai bencana kabupaten, tetapi dapat dilihat di lapangan sesungguhnya belum ada yang benar-benar siap ‘menerima’ tsunami yang merenggut ratusan nyawa ini.

Saya ikut mengunjungi daerah yang termasuk sangat parah dilanda gelombang laut yang menghantam pantai akibat pengaruh aktivitas Gunung Anak Krakatau tersebut. Di Kecamatan Sumur dan beberapa lokasi lain, bantuan mulai mengalir. Tetapi koordinasi masih belum tertata, hingga posko pengumpulan data pun (tempat kami bergabung) ternyata tak hanya satu saja.

Bagi teman-teman di lapangan, apalagi dalam aktivitas kemanusiaan semacam SAR atau tanggap bencana, informasi yang terkelola baik dan terpusat akan menghasilkan gerak kerja yang lebih berguna. Sebaliknya, amburadulnya sistem informasi akan ‘mengerjai’ para petugas dan relawan, hingga muncul kejadian ‘bupati dikejar-kejar tsunami’.

Persoalan informasi dan tatakelola tanggap bencana memang segera mencuat segera setelah bencana ini datang. Saya sendiri melihat ini bermula dari pengambil kebijakan yang paling atas tentunya, tanpa bermaksud menyalahkan. Intinya, banyak hal yang patut dibenahi.

“Kejadian ini menyadarkan kami, ada kekuatan Yang Mahabesar yang bekerja,” ujar seorang staff sebuah pusat lembaga yang datang bersama timnya dari Jakarta, “hasil penelitian bertahun-tahun dijungkir-balikkan dalam satu malam saja….”

Saya sepakat dengan ke-Mahakuasa-an Allah SWT, pastinya. Tetapi juga meyakini bahwa banyak hal yang terlihat semrawut secara kasat mata, hendaknya menjadi PR bersama. Karena, bukankah kita sudah sadar dan sepakat bahwa negeri ini berada di jalur rawan bencana? Kita harus belajar untuk menjadi ‘lebih siap’ dan menghindarkan begitu banyaknya korban jiwa.


Alhamdulillah, dalam hitungan hari ini koordinasi mulai terjalin dengan lebih baik lagi. Komando yang tegas diharapkan mampu membendung arus kunjungan yang tak terkendali ke lokasi bencana.

Ironis dan sangat menyedihkan jika media internasional malah menyorot prilaku pengunjung yang malah sibuk selfie di dekat puing-puing yang masih mungkin ada korban di bawahnya. Tengoklah berita di The Guardian ini misalnya. Kini, himbauan untuk pembatasan radius kunjungan sudah mulai diberlakukan.

Selepas semua ikhtiar, biarlah akhirnya Allah SWT yang menjadi penentu sebaik-baik urusan bagi kita. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Wallahu a’lam bishshawaab.

Post a Comment

Tidak ada komentar